
Bule di Matahari, Orang Lokal di Bayangan! Kenapa Orang Indonesia Takut Matahari?
Share
Guys, jadi gini, aku parkir motor di depan toko dan aku terlihat biasa, kayak org indo, kayak ini... Biasanya di depan toko ada meja-meja kecil, tempat di mana orang duduk, nongkrong, ngopi bareng, ngobrol santai. Kebanyakan orang Indonesia, tapi kali ini di salah satu meja ada pasangan bule, turis. Mereka pakai baju putih-putih, celana pendek, sambil makan es krim.
Nah, orang Indonesia di sana biasa aja, nggak ada yang memperhatikan aku. Tapi si bule ini, mereka lihat aku dengan tatapan agak bingung. Aku pikir, 'Loh, ada apa nih?' Aku lihat diri sendiri di kaca spion motor, rapi-rapi aja, nggak ada yang aneh. Ya udah, aku masuk ke toko. Tapi pas di dalam, akhirnya aku sadar juga: ini kan panas banget, suhu di luar lebih dari 30 derajat, matahari terik, dan aku malah pakai jaket, celana panjang, sama sarung tangan. Mungkin si bule mikir aku agak gila kali ya, kok panas-panas gini malah pakai baju tebal!
Padahal dulu aku kayak mereka, santai aja pakai kaos sama celana pendek di bawah sinar matahari langsung.
Nah, guys, hari ini aku mau bahas topik menarik yang aku temukan selama tinggal di Indonesia. Kenapa orang Indonesia takut banget sama matahari? Kenapa kulit gelap, yang di negara aku dianggap keren dan modis, di sini malah jadi sesuatu yang ditakuti? Dan kenapa sekarang aku jadi seperti kalian? Lets go!
Sebenarnya, kalau kita lihat sejarah, kita bisa paham kenapa ini terjadi. Dulu, warna kulit itu bukan cuma soal estetika, tapi juga jadi simbol status sosial. Kalau kulitmu gelap, itu berarti kamu banyak bekerja di luar, kena matahari, melakukan pekerjaan fisik yang berat. Sementara kulit cerah, itu tanda status tinggi. Bangsawan dan orang-orang kelas atas hidup di dalam istana, nggak kena panas matahari, jadi kulit mereka tetap putih. Kulit cerah itu simbol kekayaan dan keanggunan.
Tapi zaman sudah berubah, kan? Menariknya, walaupun sekarang kita hidup di abad ke-21 dan gaya hidup kita jauh berbeda, standar kecantikan yang lama ini tetap relevan. Tapi, kenapa bisa begitu?
Coba deh perhatikan. Aku masuk ke supermarket mana pun, dan apa yang aku lihat? Rak-rak penuh produk pencerah kulit! Mulai dari krim sampai masker wajah. Di TV, iklan, atau media sosial, model-model cantik dengan kulit putih bersih tersenyum manis. Iklan-iklan ini seperti menanamkan ide bahwa kulit cerah itu cantik, rapi, dan yang paling penting, prestise.
Slogan-slogannya apa? *‘kulit cerah itu cantik’,* kan? Dan ini bukan cuma kata-kata kosong, guys. Ini adalah industri kecantikan yang besar, yang terus mendukung standar ini.
Aku sendiri merasakannya. Waktu kulit aku mulai gelap karena sering kena matahari, teman-teman Indonesia langsung komentar: *‘Kok kulitnya jadi hitam?’* atau dengan nada sedikit khawatir: *‘Kamu nggak takut hitam?’* Awalnya aku bingung, kenapa harus takut? Bagi aku, ini hal biasa. Di negara aku, kulit gelap itu nggak masalah. Bahkan sebaliknya, kulit yang gelap dianggap keren, karena itu artinya kamu sering liburan, traveling, menikmati hidup.
Nah, di sinilah perbedaan yang menarik. Kalau di Indonesia orang takut kulitnya gelap, di negara Barat justru kebalikannya. Kulit gelap atau tanning itu dianggap modis. Apalagi kalau musim dingin, banyak orang sengaja pergi ke salon tanning supaya kulitnya jadi cokelat keemasan yang indah.
Dan ini belum selesai, lho! Bayangin, kalau kamu di Eropa, hususnya di eropa utara, misalnya, dan kulitmu terlihat gelap pas musim dingin, orang-orang pasti langsung mikir: *‘Wah, orang ini baru pulang liburan dari negara tropis nih!’*
Kalau kulitnya gelap banget? Itu malah lebih keren lagi! Artinya, kamu nggak cuma liburan sebentar, tapi lama. Kita di sini sibuk kerja di kantor, lihat salju di luar jendela, sedangkan dia bisa pergi ke tempat hangat. Artinya, dia sukses banget, kan? Bisa menikmati waktu lama jauh dari musim dingin.
Jadi, guys, rasa takut terhadap kulit gelap ini bukan cuma soal kecantikan. Ini juga soal sejarah, norma sosial, dan bahkan pengaruh masa kolonial. Cara orang memandang penampilan sering kali berkaitan dengan konteks budaya dan ekonomi yang lebih dalam. Kulit cerah di Indonesia itu seperti simbol jembatan menuju kehidupan yang lebih baik. Walaupun kenyataannya, nggak selalu seperti itu.
Dan ini yang aku pelajari: standar kecantikan kita itu nggak murni soal selera pribadi, tapi juga dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya di sekitar kita. Kita sering takut atau menginginkan sesuatu yang sebenarnya didikte oleh kebiasaan atau norma tempat kita tinggal.
Di Indonesia ada pepatah: *‘Tak kenal maka tak sayang’.* Kalau di Barat, ada yang bilang: *‘The grass is always greener on the other side’* — ‘Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau.’
Atau, salah satu yang aku suka, ada pepatah Cina yang berbunyi: *‘Kulit putih bisa menutupi 100 kekurangan.’* Pepatah ini sangat menggambarkan standar kecantikan yang aku lihat di Asia.
Bagi aku, ini adalah pelajaran berharga selama aku tinggal di Indonesia: kita semua berbeda, dan setiap budaya punya cara pandang yang unik terhadap dunia. Memahami dan menerima perbedaan ini adalah langkah pertama untuk benar-benar mencintai sebuah budaya.
Jadi, biarlah para bule turis yang aku ketemu di depan toko itu.tadi terus menikmati sinar matahari dan liburan mereka di Indonesia! Kalau aku sih, lebih baik pakai jaket sama celana panjang. Hahaha. Terima kasih sudah menonton, guys.
Sampai jumpa di Rumsov Web!